Senin, 04 Mei 2015

Fungsi Balai Warga

Modernisasi setidaknya membuat fungsi bale banjar ikut mengalami perubahan, di masa lampau bale banjar sering dijadikan tempat untuk bertemu di sore hari oleh warganya. Mereka bertukar info tentang musim tanam, penghasilan hari itu, sampai mengomunikasikan kemelut rumah tangga, entah tentang anak nakal, istri cerewet dan sejenisnya.
Menurut pakar kejiwaan Dr Luh Ketut Suryani, orang Bali dengan bale banjarnya semestinya tak akan ada yang terkena gangguan jiwa. Karena apa, setiap saat warga banjar bisa melakukan semacam kontemplasi, katarsis jiwa di tempat yang disakralkan itu. Dengan menyampaikan uneg-uneg mereka bisa terbebas dari kungkungan beban hidup. Pulang dari bale banjar mereka menjadi fresh segar dan mendapatkan semacam tenaga baru untuk melanjutkan hidup.
Tapi perubahan terjadi, banjar hanya ramai saat rapat bulanan, atau hanya di malam hari oleh peronda kampung. Yang ikut rondapun bisa diwakilkan, banjar akhirnya jadi menara gading. Dia berwibawa saat kulkul dipukul ketika ada upacara awal atau akhir nyepi, atau ketika betara lunga saat melasti.
“Dan jangan lupa kala ada kematian, kulkul nungkak adalah pertanda warga hari itu berkabung akibat adanya kematian di kalangan warga,” tutur Nyoman Santra, 60 tahun sesepuh salah satu banjar di Renon Bali.
Bale banjar yang awalnya dimaksudkan untuk menyatukan warga akhirnya menjadi semacam ajang untuk jor-joran menunjukkan eksistensi. Di Sanur ada bale banjar yang dibangun lengkap dengan dinding kaca yang mencorong bertingkat pula. Di Kerobokan dekat lampu merah, ada bale banjar yang mirip bangunan villa yang mengitari kampung agraris itu.
Banjar lain dibuat berukir seluruhnya dan diberi pulasan cat warna-warni, ukiran saja sudah mewah diberi cat lagi. Banjar lainnya karena merasa berdekatan dengan obyek wisata dan lebih mampu, membangun bale banjar dengan gaya gothic lengkap dengan pilar mirip bangunan spanyol.
Fungsi bale banjar yang awalnya untuk menampung keluh kesah warga dijadikan ajang untuk adu gengsi antar warga banjar dengan warga yang lainnya. Belum terdapat kesamaan tafsir, seperti apakah bangunan bale banjar yang mencerminkan budaya, seni dan keindahan khas Bali. Apakah bale banjar berdinding kaca mencorong termasuk budaya Bali juga belum ada yang menjelaskannya.
Banjar pada akhirnya selain jadi adu saling mengungguli juga dijadikan ajang untuk menerjemahkan aneka program. Dia tak lagi sekedar tempat untuk melakukan posyandu atau pengobatan gratis. Suatu ketika akan muncul umbul-umbul merk dagang tertentu di bale banjar karena sedang ada promosi atau launching produk baru.
Di hari lain bale banjar didereti penjor setiap 2 meter karena ada rombongan bupati berkunjung untuk menilai ketertiban kebersihan dan keharmonisan warga banjar. Namanya lomba desa terpadu, lomba desa adat, lomba sekeha teruna teruni.
Banjar yang ditunjuk jadi tuan rumah harus yang mencorong dan berlantai marmer dan warganya mengenakan sanggul harga jutaan, kebaya jutaan dan destar serta sendal klompen jutaan harganya.
Banjar yang tak terpilih akan merasa, banjarnya tidak pantas, sedangkan banjar yang terpilih jadi tempat penerimaan panitya naik ratingnya karena memang ditayangkan televisi lokal berulang kali. Sekali dalam berita selama 3 menit, sekali dalam tayang khusus berdurasi 30 menit dan berulangkali diputar dalam bentuk dvd dan bisa ditonton di setiap rumah karena biasanya acara itu didokumentasikan secara khusus oleh rumah produksi khusus.
Niatan untuk menjadikan bale banjar sebagai pemersatu antar warga jadi sumir dan kabur, dia hanya jadi milik segelintir orang. Mulai dari prajuru, kelihan, kasinoman dan juga kepala sub unit di tingkat pedesaan. Karena merekalah yang memiliki semacam otoritas tunggal dalam menentukan masa depan banjarnya sendiri.