Modernisasi
setidaknya membuat fungsi bale banjar ikut mengalami perubahan, di masa
lampau bale banjar sering dijadikan tempat untuk bertemu di sore hari
oleh warganya. Mereka bertukar info tentang musim tanam, penghasilan
hari itu, sampai mengomunikasikan kemelut rumah tangga, entah tentang
anak nakal, istri cerewet dan sejenisnya.
Menurut
pakar kejiwaan Dr Luh Ketut Suryani, orang Bali dengan bale banjarnya
semestinya tak akan ada yang terkena gangguan jiwa. Karena apa, setiap
saat warga banjar bisa melakukan semacam kontemplasi, katarsis jiwa di
tempat yang disakralkan itu. Dengan menyampaikan uneg-uneg mereka bisa
terbebas dari kungkungan beban hidup. Pulang dari bale banjar mereka
menjadi fresh segar dan mendapatkan semacam tenaga baru untuk
melanjutkan hidup.
Tapi
perubahan terjadi, banjar hanya ramai saat rapat bulanan, atau hanya di
malam hari oleh peronda kampung. Yang ikut rondapun bisa diwakilkan,
banjar akhirnya jadi menara gading. Dia berwibawa saat kulkul dipukul
ketika ada upacara awal atau akhir nyepi, atau ketika betara lunga saat
melasti.
“Dan
jangan lupa kala ada kematian, kulkul nungkak adalah pertanda warga
hari itu berkabung akibat adanya kematian di kalangan warga,” tutur
Nyoman Santra, 60 tahun sesepuh salah satu banjar di Renon Bali.
Bale
banjar yang awalnya dimaksudkan untuk menyatukan warga akhirnya menjadi
semacam ajang untuk jor-joran menunjukkan eksistensi. Di Sanur ada bale
banjar yang dibangun lengkap dengan dinding kaca yang mencorong
bertingkat pula. Di Kerobokan dekat lampu merah, ada bale banjar yang
mirip bangunan villa yang mengitari kampung agraris itu.
Banjar
lain dibuat berukir seluruhnya dan diberi pulasan cat warna-warni,
ukiran saja sudah mewah diberi cat lagi. Banjar lainnya karena merasa
berdekatan dengan obyek wisata dan lebih mampu, membangun bale banjar
dengan gaya gothic lengkap dengan pilar mirip bangunan spanyol.
Fungsi
bale banjar yang awalnya untuk menampung keluh kesah warga dijadikan
ajang untuk adu gengsi antar warga banjar dengan warga yang lainnya.
Belum terdapat kesamaan tafsir, seperti apakah bangunan bale banjar yang
mencerminkan budaya, seni dan keindahan khas Bali. Apakah bale banjar
berdinding kaca mencorong termasuk budaya Bali juga belum ada yang
menjelaskannya.
Banjar
pada akhirnya selain jadi adu saling mengungguli juga dijadikan ajang
untuk menerjemahkan aneka program. Dia tak lagi sekedar tempat untuk
melakukan posyandu atau pengobatan gratis. Suatu ketika akan muncul
umbul-umbul merk dagang tertentu di bale banjar karena sedang ada
promosi atau launching produk baru.
Di
hari lain bale banjar didereti penjor setiap 2 meter karena ada
rombongan bupati berkunjung untuk menilai ketertiban kebersihan dan
keharmonisan warga banjar. Namanya lomba desa terpadu, lomba desa adat,
lomba sekeha teruna teruni.
Banjar
yang ditunjuk jadi tuan rumah harus yang mencorong dan berlantai marmer
dan warganya mengenakan sanggul harga jutaan, kebaya jutaan dan destar
serta sendal klompen jutaan harganya.
Banjar
yang tak terpilih akan merasa, banjarnya tidak pantas, sedangkan banjar
yang terpilih jadi tempat penerimaan panitya naik ratingnya karena
memang ditayangkan televisi lokal berulang kali. Sekali dalam berita
selama 3 menit, sekali dalam tayang khusus berdurasi 30 menit dan
berulangkali diputar dalam bentuk dvd dan bisa ditonton di setiap rumah
karena biasanya acara itu didokumentasikan secara khusus oleh rumah
produksi khusus.
Niatan
untuk menjadikan bale banjar sebagai pemersatu antar warga jadi sumir
dan kabur, dia hanya jadi milik segelintir orang. Mulai dari prajuru,
kelihan, kasinoman dan juga kepala sub unit di tingkat pedesaan. Karena
merekalah yang memiliki semacam otoritas tunggal dalam menentukan masa
depan banjarnya sendiri.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar